Bu, tanpa perlu aku bertanya, tanpa perlu kau mengatakannya padaku, aku sudah tahu. Sifat polos dan kesederhanaanmu membisikkannya padaku. Surat dari perguruan tinggi yang memberitakan bahwa aku diterima menjadi salah satu mahasiswanya, masih kau simpan.
Masih kau simpan di bawah tumpukan baju di lemari tuamu. Dan sesekali kau masih membacanya, lalu kau akan berkata “membaca surat itu seperti memupuk rasa bangga di dada Ibu. Bagaimana tidak, dari keluarga bapak dan ibu hanya kamu yang melanjutkan pendidikan ke bangku perkuliahan.”
Tahukah Bu? Sebenarnya rasa banggamu adalah beban bagiku, rasa bangga itu selalu menimbulkan riak-riak kekhawatiran di dadaku. Aku memiliki tanggung jawab besar atas rasa banggamu itu, Bu.
Bu, mari kita kembali mengenang saat pegawai kantor pos itu datang ke gubuk reot kita. Apa kau masih mengingatnya? Aku masih sangat ingat raut wajahmu saat menyambut pegawai kantor pos menyambangi gubuk ini, terlihat antusias dan kebahagian bercampur dengan was-was. Apa pegawai pos itu tidak salah alamat? Tidak biasanya, katamu.
“Permisi ibu, ini suratnya. Silahkan tanda tangan di sini sebagai tanda terima.”
Ibu manut kata pegawai kantor pos itu, kemudian dengan tidak sabar namun tetap teliti mulai membaca surat itu. Matamu mengerjap beberapa kali, mencerna setiap kata yang kau baca. Kemudian mengabarkannya padaku. “Nak, di surat itu tertulis bahwa kamu diterima di perguruan tinggi. Perguruan tinggi itu, setahu Ibu, adalah salah satu perguruan tinggi terbaik di negeri ini.”
Aku tertegun. Tidak tahu harus bersuka cita atau sebaliknya. Lalu aku tersenyum seadanya. “Ah, rupanya nasib baik sedang berpihak padaku Bu. Dulu sebelum ujian nasional, beberapa guru menyarankanku untuk mendaftar, mereka yakin aku akan diterima. Aku manut saja meski sebenarnya tidak yakin.”
Masih kau simpan di bawah tumpukan baju di lemari tuamu. Dan sesekali kau masih membacanya, lalu kau akan berkata “membaca surat itu seperti memupuk rasa bangga di dada Ibu. Bagaimana tidak, dari keluarga bapak dan ibu hanya kamu yang melanjutkan pendidikan ke bangku perkuliahan.”
Tahukah Bu? Sebenarnya rasa banggamu adalah beban bagiku, rasa bangga itu selalu menimbulkan riak-riak kekhawatiran di dadaku. Aku memiliki tanggung jawab besar atas rasa banggamu itu, Bu.
Bu, mari kita kembali mengenang saat pegawai kantor pos itu datang ke gubuk reot kita. Apa kau masih mengingatnya? Aku masih sangat ingat raut wajahmu saat menyambut pegawai kantor pos menyambangi gubuk ini, terlihat antusias dan kebahagian bercampur dengan was-was. Apa pegawai pos itu tidak salah alamat? Tidak biasanya, katamu.
“Permisi ibu, ini suratnya. Silahkan tanda tangan di sini sebagai tanda terima.”
Ibu manut kata pegawai kantor pos itu, kemudian dengan tidak sabar namun tetap teliti mulai membaca surat itu. Matamu mengerjap beberapa kali, mencerna setiap kata yang kau baca. Kemudian mengabarkannya padaku. “Nak, di surat itu tertulis bahwa kamu diterima di perguruan tinggi. Perguruan tinggi itu, setahu Ibu, adalah salah satu perguruan tinggi terbaik di negeri ini.”
Aku tertegun. Tidak tahu harus bersuka cita atau sebaliknya. Lalu aku tersenyum seadanya. “Ah, rupanya nasib baik sedang berpihak padaku Bu. Dulu sebelum ujian nasional, beberapa guru menyarankanku untuk mendaftar, mereka yakin aku akan diterima. Aku manut saja meski sebenarnya tidak yakin.”
“Nasib baik, Nak. SMP-mu di kampung macam ini, lalu nasib baik dan waktu menuntunmu untuk melanjutkan SMA di kota besar itu, kemudian membawamu masuk perguruan tinggi di kota yang lain lagi. Waktu sedang berbaik hati menuntutmu pada nasib baik. Lanjutkan saja, Nak, jalani sampai tuntas. Jangan lekas menyerah.”
Maka pecahlah tangismu yang bernuansa haru itu saat waktuku untuk pergi telah tiba. Tangismu melepasku ke perantauan. Aku… aku tidak bisa mendeskripsikan perasaanku saat itu, aku selalu takut dan sangat gugup saat akan memulai hal baru. Aku mencoba untuk bersikap konsekuen dan mencoba mempertanggungjawabkan langkah yang telah kuambil.
Selanjutnya aku mulai melakukannya sendiri, menyimpan segala yang kurasa dalam toples kaca, menghadapi segala tantangan dan rintangan sebagai tolok ukur seberapa kuatnya aku. Hasilnya memang tidak selalu baik, tapi setidaknya ada usahaku di sana.
Bu, lambaian tanganmu cuma sepintas kuingat. Gerimis di matamu tidak kubiarkan menggenang di kepalaku terlalu lama karena akan membuat risau dan gelisahku semakin parah, selanjutnya aku akan lebur dalam hal-hal sentimentil lainnya. Belum lagi aku harus bersusah payah menepis rasa pesimis yang sering mennyambangiku. Aku terlalu sibuk untuk hal-hal macam itu.
Bu, setiap detik di kota yang baru ini, rupanya diam-diam telah menjadikanku manusia hilang. Aku makin asing pada kepulangan. Akupun tidak lagi tahu makna rumah dan pulang. Aku seperti merasa tidak ingin berurusan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan rumah dan pulang. Dan aku mulai mengkambing hitamkan waktu, kuanggap waktu sebagai satu-satunya yang bersalah.
Bu, aku merasa waktu bertindak seenaknya, dia membawaku ke mana dia mau tanpa mau peduli pada kesiapanku. Waktu seperti tidak berperasaan, dia menorehkan luka yang tidak berkesudahan dikelapangan hatimu dan enggan menyembuhkannya. Waktu pula yang menjadikanku manusia hilang, membuatku asing pada kepulangan, dan lupa pada makna rumah dan pulang.
Bu, apa waktu memang selalu begitu? Selalu tidak berperasaan? Atau akulah yang salah dan tidak berperasaan? Tapi Bu, aku tidak mau disalahkan, jadi sepertinya memang waktu yang salah dan tidak berperasaan.
Oleh : Yuli Nurmala
Penulis bisa dihubungi di alamat [email protected]
(//ful)
Maka pecahlah tangismu yang bernuansa haru itu saat waktuku untuk pergi telah tiba. Tangismu melepasku ke perantauan. Aku… aku tidak bisa mendeskripsikan perasaanku saat itu, aku selalu takut dan sangat gugup saat akan memulai hal baru. Aku mencoba untuk bersikap konsekuen dan mencoba mempertanggungjawabkan langkah yang telah kuambil.
Selanjutnya aku mulai melakukannya sendiri, menyimpan segala yang kurasa dalam toples kaca, menghadapi segala tantangan dan rintangan sebagai tolok ukur seberapa kuatnya aku. Hasilnya memang tidak selalu baik, tapi setidaknya ada usahaku di sana.
Bu, lambaian tanganmu cuma sepintas kuingat. Gerimis di matamu tidak kubiarkan menggenang di kepalaku terlalu lama karena akan membuat risau dan gelisahku semakin parah, selanjutnya aku akan lebur dalam hal-hal sentimentil lainnya. Belum lagi aku harus bersusah payah menepis rasa pesimis yang sering mennyambangiku. Aku terlalu sibuk untuk hal-hal macam itu.
Bu, setiap detik di kota yang baru ini, rupanya diam-diam telah menjadikanku manusia hilang. Aku makin asing pada kepulangan. Akupun tidak lagi tahu makna rumah dan pulang. Aku seperti merasa tidak ingin berurusan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan rumah dan pulang. Dan aku mulai mengkambing hitamkan waktu, kuanggap waktu sebagai satu-satunya yang bersalah.
Bu, aku merasa waktu bertindak seenaknya, dia membawaku ke mana dia mau tanpa mau peduli pada kesiapanku. Waktu seperti tidak berperasaan, dia menorehkan luka yang tidak berkesudahan dikelapangan hatimu dan enggan menyembuhkannya. Waktu pula yang menjadikanku manusia hilang, membuatku asing pada kepulangan, dan lupa pada makna rumah dan pulang.
Bu, apa waktu memang selalu begitu? Selalu tidak berperasaan? Atau akulah yang salah dan tidak berperasaan? Tapi Bu, aku tidak mau disalahkan, jadi sepertinya memang waktu yang salah dan tidak berperasaan.
Oleh : Yuli Nurmala
Penulis bisa dihubungi di alamat [email protected]
(//ful)